AL-MASYĪAĤ
(Refleksi Nilai-Nilai Paedagogis Al-Masyîaĥ)
A. Pendahuluan
Apabila orang-orang beriman memuji dan menghormati
rasulullah Saw, maka itu adalah hal yang biasa, tetapi apabila orang-orang yang
memusuhi beliau memuji dan merindukan lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an yang dibacakannya,
maka ini adalah sesuatu yang luar biasa.
Apabila rasulullah Saw membalas terhadap ancaman
pedang Da’tsur maka itu masih termasuk kategori wajar, tetapi apabila kemudian
beliau mema’afkannya maka ini merupakan sikap luar biasa. Dan justru membuat
musuh-musuh beliau menjadi kagum dan akhirnya masuk Islam.
Sikap rasululllah Saw tersebut timbul dari pribadi
rasul yang mulia, peribadi yang mulia tersebut ada karena adanya keinginan atau
kehendak atau Masyîaĥ. Dan Masyîaĥ yang dimiliki oleh rasulullah
Saw mempunyai nilai yang luhur dan tinggi karena beliau menjadikan Al-Qur’an
sebagai imam kehidupannya sehari-hari, juga dengan Al-Qur’an rasulullah Saw
mampu mengatur potensi qalb dan anggota-anggotanya sehingga dapat sesuai
terhadap Masyîaĥnya sebagai hamba dengan Masyîatullah.
Karena keluhuran Masyîaĥnya rasulullah Saw
hidup sederhana, bahkan walaupun dosa-dosa beliau diampuni, tetapi frekuensi
ibadah beliau bukannya menurun, malah semakin bertambah dan bertambah sebagai
bukti bahwa beliau adalah hamba yang pandai bersyukur kepada Allah Swt. Dan itu
merupakan kenikmatan puncak yang dirasakan, didambakan dan dirindukan oleh
pribadi rasululullah Saw.
Dalam membumikan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah
rasulullah Saw, maka pengkajian Masyîaĥ dinilai mempunyai kepentingan
yang sangat urgent, karena merupakan pangkal kesadaran qalb dan titian
jalan menuju qalb salim yang bernilai keimanan, ketakwaan dan keihsanan.
Dan karena dari Masyîaĥ muncul sikap destruktif atau konstruktif, serta
pentingnya menngkonstruk Masyîaĥ yang menguntungkan dan sesuai dengan Masyîatullah.
Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode
maudhu’i (tematik) yaitu dengan
menghimpun ayat-ayat yang berbeda-beda pada surah-surah Al-Qur’an yang
berkaitan dengan satu tema secara teks atau hukum dan tafsirnya sesuai dengan
maksud Al-Qur’an.[1]
Dari kurang lebih 190 ayat yang berhubungan dengan
Masyîaĥ maka penulis mengambil dua ayat sebagai sample utama, yaitu Q.S
At-Takwir ayat 28 dan 29. dasar pengambilan sample tersebut karena kebanyakan
dari ayat-ayat yang ada, Q.S at-Takwir 28-29 sering dijadikan sebagai acuan
kaidah Masyîaĥ (Masyîatullah dan Masyîatul ‘ibad). Dan dapat
mewakili sample-sample yang ada. Walaupun demikian penulis menampilkan 55 ayat
yang diwakili oleh kata sya-a.
Setelah konsep dasar Masyîaĥ dalam
Al-Qur’an berikut pendapat para pakar disebutkan, kemudian dianalisis dan
penulis mencoba merefleksikan nilai-nilai paedagodis Masyîaĥ, sehingga
melahirkan beberapa core yang dianggap penting menurut penulis yaitu Al-Masyîaĥ
merupakan cikal bakal pendidikan, Substitusi Al-Masyîaĥ melalui
warisan sosial (social education), Tingkatan Al-Masyîaĥ (general), Al-Masyîaĥ:
Nilai, Potensi dan Kuantitatif, Apabila manusia kehilangan Al-Masyîaĥ, dan
Al-Masyîaĥ adalah ruh.
B. Pengertian Al-Masyîaĥ,
Pembagian dan Strukturnya
1. Pengertian Al-Masyîaĥ
Dipandang dari struktur kata, kalimat Al-Masyîaĥ
adalah masdar dari kata kerja (fi’il) شاء يشاء شيئا مشيئة Syâ-a, yasyâ-u, masyîatan, dikatakan كل شيء بشيئة segala sesuatu itu dengan
masyîaĥ,
dan Masyîaĥ mempunyai makna irâdah[2]
yang berarti berkehendak atau menghendaki sesuatu[3]. Ada dua kalimat yang
sering dipakai yaitu:
a.
Kalimat ما شاء الله yaitu kalimat ta’ajjub
menunjukkan kekaguman, apabila diterjemahkan mempunyai makna betapa
besar kehendak Allah, dan
b.
Kalimat إن شاء الله yaitu kalimat yang diucapkan
ketika mengatakan kesiapan atau berjanji, yang artinya jika Allah
berkehendak.
Kedua kalimat tersebut
menunjukkan masyîatullah, bahkan di dalam hadits disebutkan:
أن يهوديا أتى النبي فقال
إنكم تنذرون وتشركون تقولون ما شاء
الله وشئت فأمرهم النبي أن يقولوا ما شاء الله ثم شئت
Perintah nabi agar huruf wau diganti dengan
huruf tsumma karena huruf wau mempunyai pengertian bahwa masyîatullah
dan masyîaĥnya berkumpul menjadi satu atau, sedangkan huruf tsumma mempunyai
pengertian bahwa masyîatullah lebih terdahulu dari pada masyîaĥnya.[4]
Di dalam kitab al-ta’arif, Al-Masyîaĥ mempunyai
makna perbuatan yang dikehendaki, kalimat Al-Masyîaĥ lebih umum
dari pada irâdah walaupun dari segi bahasa penggunaan kedua kalimat
tersebut sering bertukar tempat, Al-Masyî
ialah berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan kehendak. Sedangkan
Jaudat Sa’id menyatakan bahwa kehendak sama dengan menyukai dan menginginkan
sesuatu.[5]
Apabila pengertian Al-Masyîaĥ lebih umum
dari pada irâdah, maka dapat dipastikan bahwa konsep Al-Masyîaĥ bersifat
universal, artinya mencakup dua Al-Masyîaĥ yaitu Masyîatullah dan Masyîatul ‘ibad.
Berbeda dengan irâdah yang hanya dimiliki oleh Sang Maha Pencipta dan
tidak diberikan kepada hamba-Nya. Untuk membedakan antara Al-Masyîaĥ dengan
irâdah memang sangat sulit karena kadang-kadang pemakaian bertukar
tempat, tetapi penulis dapat menyodorkan pandangan bahwa dalam istilah sering
ditemui Masyîatullah dan Masyîatul ‘ibad. Sedangkan untuk irâdah
tidak ditemukan irâdatul ‘ibad, yang ada adalah irâdatullah.
2. Pembagian Al-Masyîaĥ
Berdasarkan At Takwir: 28 -29 maka Al-Masyîaĥ
terbagi kepada dua bagian, yaitu Masyîatullah dan Masyîatul
‘ibad.
a.
Masyîatullah, yaitu kehendak Allah Swt yang bebas atas alam
raya dan penghuninya, Dia pelaksana yang dapat memaksakan kehendak-Nya. Dia
Maha Mengetahui hati manusia apakah mengarah kepada-Nya atau tidak.[6]
b.
Masyîatul ‘ibad, yaitu kehendak hamba dimana Allah telah
menganugerahkan manusia kemampuan untuk mengetahui yang haq dan yang batil. Pengetahuan
itu ditanamkan Allah pada diri manusia berupa potensi untuk mengenal-Nya serta
mengenai pengutusan para rasul, penurunan Al-Qur’an dan lain-lain.[7] Atau dalam istilah yang
lain bahwa Allah Swt memberikan kebebasan berbuat kepada manusia (‘af’al
al-ikhtiyariah/hurriyatul af’al). Sebagaimana firman Allah Q.S Ar-Ra’d:11
... إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى
يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ...
Sesungguhnya Allah tidak mengubah
keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka
sendiri.
Tetapi
kemudian kebebasan berbuat ini juga tidak lepas dari Masyîatullah sebab tidak adak
seorangpun yang dapat menolak sesuatu yang dikehendaki oleh Allah Swt
sebagaimana terusan ayat diatas.
وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ
لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ
Dan apabila Allah menghendaki
keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan
sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
Berikut ilustrasi Al-Masyîaĥ yang
merupakan bagian dari taqdir secara umum.
dst
3. Struktur Al-Masyîaĥ Pada
Manusia
Al-Masyîaĥ secara strukturnya bukanlah
anggota tubuh organik seperti mata, telinga, hidung. Akan tetapi ia merupakan
organ fungsional yang menggerakkan tubuh organik tersebut. Penggerakan tersebut
berpusat pada akal yang apabila ia menangkap sebuah objek –baik atau pun buruk-
serta merta akal memberikan reaksi: menolak atau menerima. Jadi Al-Masyîaĥ
adalah tugas akal yang merupakan organ fungsional yang membedakan manusia dari
hewan, seperti halnya indera penciuman yang dapat menangkap aroma dan
menginginkannya. Demikian pula akal, ia mengetahui perbuatan-perbuatan baik dan
menginginkannya.
Jadi kecenderungan hidung terhadap aroma dan akal
terhadap perbuatan baik, muncul dan timbul secar alamiah. Namun kcenderungan
indera seseorang bisa mengalami keruksakan seperti lidah ketika ia sakit, ia
tidak mampu merasakan manis, yang ia rasakan hanya pahit. Begitu juga dengan Al-Masyîaĥ
tidak menutup kemungkinan terhidar dari keruksakan, sehingga menemukan
kenikmatan dalam pola pikir yang sesat atau perbuatan destruktif.[8]
Dan Al-Masyîaĥ lahir dari hasil kolaborasi
antara unsur teladan dan akal pikiran manusia atau indera pembedanya-akal
adalah indera yang membedakan manusia dari hewan. Apabila suri teladan bertemu
dengan akal pikiran dengan segala kelengkapan syarat dan tidak ada faktor
penghalang. Didalamnya, lahirlah kehendak dengan izin Allah Swt. Hal seperti
ini mirip kelahiran segala sesuatu dari haril perkawinan ketika semua
syarat-syaratnya lengkap dan tak ada faktor penghalang. Faktor penghalang
tersebut dapat berupa kebodohan ataupun hawa nafsu.[9] Struktur Al-Masyîaĥ pada
diri manusia dapat digambarkan sebagai berikut:
C. Konsep Al-Masyîaĥ
dalam Al-Qur’an dan Pendapat Mufassir
Untuk merumuskan
Al-Masyîaĥ yang berada dalam Al-Qur’an maka penulis menemukan kata
Syâ-a, yasyâ-u, tasyâ-u yang
dapat mewakili arti Al-Masyîaĥ.
1.
Kata Syâ-a diulang sebanyak +55 kali. rinciannya
sebagaimana termaktub dalam tabel berikut.
No.
|
Surat dan Ayat
|
Lapadznya
|
1.
|
Al-Baqarah:20
|
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ
لَذَهَبَ بِسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ
|
2.
|
Al-Baqarah:70
|
وَإِنَّا إِنْ شَاءَ
اللَّهُ لَمُهْتَدُونَ
|
3.
|
Al-Baqarah:220
|
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ
لَأَعْنَتَكُمْ
|
4.
|
Al-Baqarah:253
|
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ
مَا اقْتَتَلَ الَّذِينَ مِنْ بَعْدِهِمْ
|
5.
|
Al-Baqarah:253
|
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ
مَا اقْتَتَلُوا
|
6.
|
Al-Baqarah:255
|
وَلَا يُحِيطُونَ
بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ
|
7.
|
An-Nisa’:90
|
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ
لَسَلَّطَهُمْ عَلَيْكُمْ فَلَقَاتَلُوكُمْ
|
8.
|
Al-Maidah:48
|
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ
لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً
|
9.
|
Al-An’am:35
|
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ
لَجَمَعَهُمْ عَلَى الْهُدَى
|
10.
|
Al-An’am:41
|
بَلْ إِيَّاهُ
تَدْعُونَ فَيَكْشِفُ مَا تَدْعُونَ إِلَيْهِ إِنْ شَاءَ
|
11.
|
Al-An’am:107
|
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ
مَا أَشْرَكُوا
|
12.
|
Al-An’am:112
|
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ
مَا فَعَلُوهُ
|
13.
|
Al-An’am:128
|
قَالَ النَّارُ
مَثْوَاكُمْ خَالِدِينَ فِيهَا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ
|
14.
|
Al-An’am:137
|
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ
مَا فَعَلُوهُ
|
15.
|
Al-An’am:148
|
سَيَقُولُ الَّذِينَ
أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا
|
16.
|
Al-An’am:149
|
فَلَوْ شَاءَ
لَهَدَاكُمْ أَجْمَعِينَ
|
17.
|
Al-A’raf:188
|
قُلْ لَا أَمْلِكُ
لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ
|
18.
|
At-Taubah:28
|
فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ
اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ إِنْ شَاءَ
|
19.
|
Yunus:16
|
قُلْ لَوْ شَاءَ
اللَّهُ مَا تَلَوْتُهُ عَلَيْكُمْ وَلَا أَدْرَاكُمْ بِهِ
|
20.
|
Yunus:49
|
قُلْ لَا أَمْلِكُ
لِنَفْسِي ضَرًّا وَلَا نَفْعًا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ
|
21.
|
Yunus:99
|
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ
لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا
|
22.
|
Hud:33
|
قَالَ إِنَّمَا
يَأْتِيكُمْ بِهِ اللَّهُ إِنْ شَاءَ وَمَا أَنْتُمْ بِمُعْجِزِينَ
|
23.
|
Hud:107
|
خَالِدِينَ فِيهَا
مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ إِلَّا مَا شَاءَ رَبُّكَ
|
24.
|
Hud:108
|
خَالِدِينَ فِيهَا
مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ إِلَّا مَا شَاءَ رَبُّكَ
|
25.
|
Hud:118
|
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ
لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً
|
26.
|
Yusuf:99
|
وَقَالَ ادْخُلُوا
مِصْرَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ ءَامِنِينَ
|
27.
|
An-Nahl:9
|
وَلَوْ شَاءَ
لَهَدَاكُمْ أَجْمَعِينَ
|
28.
|
An-Nahl:35
|
وَقَالَ الَّذِينَ
أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا عَبَدْنَا مِنْ دُونِهِ مِنْ شَيْءٍ
|
29.
|
An-Nahl:93
|
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ
لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً
|
30.
|
Al-Kahfi:29
|
فَمَنْ شَاءَ
فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ
|
31.
|
Al-Kahfi:39
|
وَلَوْلَا إِذْ
دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاءَ اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ
|
32.
|
Al-Kahfi:69
|
قَالَ سَتَجِدُنِي
إِنْ شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْرًا
|
33.
|
Al-Mu’minun:24
|
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ
لَأَنْزَلَ مَلَائِكَةً مَا سَمِعْنَا بِهَذَا
|
34.
|
Al-Furqan:10
|
تَبَارَكَ الَّذِي
إِنْ شَاءَ جَعَلَ لَكَ خَيْرًا مِنْ ذَلِكَ
|
35.
|
Al-Furqan:45
|
أَلَمْ تَرَ إِلَى
رَبِّكَ كَيْفَ مَدَّ الظِّلَّ وَلَوْ شَاءَ لَجَعَلَهُ سَاكِنًا ثُمَّ
جَعَلْنَا الشَّمْسَ عَلَيْهِ دَلِيلًا
|
36.
|
Al-Furqan:57
|
قُلْ مَا
أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِلَّا مَنْ شَاءَ أَنْ يَتَّخِذَ إِلَى
رَبِّهِ سَبِيلًا
|
37.
|
An-Naml:87
|
وَيَوْمَ يُنْفَخُ
فِي الصُّورِ فَفَزِعَ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ إِلَّا مَنْ
شَاءَ اللَّهُ وَكُلٌّ أَتَوْهُ دَاخِرِينَ
|
38.
|
Al-Qashash:27
|
سَتَجِدُنِي إِنْ
شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ
|
39.
|
Al-Ahzab:24
|
لِيَجْزِيَ اللَّهُ
الصَّادِقِينَ بِصِدْقِهِمْ وَيُعَذِّبَ الْمُنَافِقِينَ إِنْ شَاءَ أَوْ
يَتُوبَ عَلَيْهِمْ
|
40.
|
Ash-Shafat:102
|
سَتَجِدُنِي إِنْ
شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
|
41.
|
Az-Zumar:68
|
وَنُفِخَ فِي
الصُّورِ فَصَعِقَ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ إِلَّا مَنْ
شَاءَ اللَّهُ
|
42.
|
Fushshilat:14
|
قَالُوا لَوْ شَاءَ
رَبُّنَا لَأَنْزَلَ مَلَائِكَةً
|
43.
|
Asy-Syura’:8
|
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ
لَجَعَلَهُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً
|
44.
|
Az-Zukhruf:20
|
وَقَالُوا لَوْ شَاءَ
الرَّحْمَنُ مَا عَبَدْنَاهُمْ
|
45.
|
Al-Fath:27
|
لَتَدْخُلُنَّ
الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ ءَامِنِينَ مُحَلِّقِينَ رُءُوسَكُمْ
وَمُقَصِّرِينَ لَا تَخَافُونَ
|
46.
|
Al-Muzzammil:19
|
إِنَّ هَذِهِ
تَذْكِرَةٌ فَمَنْ شَاءَ اتَّخَذَ إِلَى رَبِّهِ سَبِيلًا
|
47.
|
Al-Muddatsir:37
|
لِمَنْ شَاءَ
مِنْكُمْ أَنْ يَتَقَدَّمَ أَوْ يَتَأَخَّرَ
|
48.
|
Al-Muddatsir:55
|
فَمَنْ شَاءَ
ذَكَرَهُ
|
49.
|
Al-Insan:29
|
إِنَّ هَذِهِ
تَذْكِرَةٌ فَمَنْ شَاءَ اتَّخَذَ إِلَى رَبِّهِ سَبِيلًا
|
50.
|
An-Naba’:39
|
فَمَنْ شَاءَ
اتَّخَذَ إِلَى رَبِّهِ مَآبًا
|
51.
|
‘Abasa:12
|
فَمَنْ شَاءَ
ذَكَرَهُ
|
52.
|
‘Abasa:22
|
ثُمَّ إِذَا شَاءَ
أَنْشَرَهُ
|
53.
|
At-Takwir:28
|
لِمَنْ شَاءَ
مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَقِيمَ
|
54.
|
Al-Infithar:8
|
فِي أَيِّ صُورَةٍ
مَا شَاءَ رَكَّبَكَ
|
55.
|
Al-A’la:7
|
إِلَّا مَا شَاءَ
اللَّهُ إِنَّهُ يَعْلَمُ الْجَهْرَ وَمَا يَخْفَى
|
2.
Kata yasyâ-u diulang + 126 kali.
3.
Kata tasyâ-u diulang + 9 kali.
Al-Masyîaĥ termasuk tingkatan takdir yang ketiga[10] setelah, al-ilmu[11] dan al-kitabah[12]. Dan tingkatan takdir
yang keempat adalah Al-Khalqu[13]. Adapun yang dimaksud
dengan Al-Masyîaĥ sebagai tingkatan takdir yang ketiga adalah bahwa Kehendak Allah ini bersifat umum. Bahwa tidak ada sesuatu
pun di langit maupun di bumi melainkan terjadi dengan iradat/masyiah
(kehendak/keinginan) Allah Swt. Maka tidak ada dalam kekuasaan-Nya yang tidak
diinginkannya selamanya. Baik yang berkaitan dengan apa yang dilakukan oleh Zat
Allah atau yang dilakukan oleh makhluq-Nya.
إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا
أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu
hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia. (QS. Yasin :
82)
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا
اقْتَتَلَ الَّذِينَ مِنْ بَعْدِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ
وَلَكِنِ اخْتَلَفُوا فَمِنْهُمْ مَنْ ءَامَنَ وَمِنْهُمْ مَنْ كَفَرَ وَلَوْ
شَاءَ اللَّهُ مَا اقْتَتَلُوا وَلَكِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ
Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah
berbunuh-bunuhan orang-orang sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada
mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada
diantara mereka yang beriman dan ada di antara mereka yang kafir. Seandainya
Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat
apa yang dikehendaki-Nya.(QS. Al-Baqarah : 253)
Sementara itu Syaikh Muhammad Shalih al
`Utsaimin berpendapat[14] Al-Masyiah
(kehendak) mempunyai arti bahwa segala sesuatu, yang terjadi atau tidak
terjadi, di langit dan di bumi, adalah dengan kehendak Allah Ta’ala. hal ini
dinyatakan jelas dalam Al-Qur’an Al–Karim. Dan Allah Ta’ala telah menetapkan
bahwa apa yang diperbuat-Nya, serta apa yang diperbuat para hambaNya juga
dengan kehendakNya. Firman Allah:
لمن شاء منكم أن يستقيم ,وما تشاءون إلا أن يشاء الله رب العلمين
Artinya : “ (yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang
lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki ( menempuh jalan itu ) kecuali apa bila
dikehendaki Allah,Tuhan semesta alam”. ( At Takwir : 28 -29)
ولو شاء ربك ما فعلوه
Artinya: “jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak
mengerjakannya”. ( Al – An’am : 112)
ولو شاء الله ما اقتتلوا ولكن الله يفعل ما يريد
Artinya: “Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan.
Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehandakinya”. (Al–Baqarah:253)
Dalam ayat – ayat tersebut Allah Ta’ala menjelaskan bahwa apa yang diperbuat oleh manusia itu terjadi dengan kehendakNya.
Dalam ayat – ayat tersebut Allah Ta’ala menjelaskan bahwa apa yang diperbuat oleh manusia itu terjadi dengan kehendakNya.
Dan banyak pula ayat– ayat yang menunjukkan bahwa apa yang diperbuat Allah
adalah dengan kehendak-Nya. Seperti firman Allah :
ولو شئنا لأتيناه كل نفس هداها
Artinya : “ Dan kalau kami menghendaki niscaya akan kami berikan kepada
tiap – tiap jiwa petunjuk (bagi) nya”.( As Sajdah: 13)
ولو شاء ربك لجعل الناس أمة واحدة
Artinya : “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat
yang satu”. (Huud: 118)
Dan banyak lagi ayat – ayat yang menetapkan kehendak Allah dalam apa yang
diperbuatNya.
Oleh karena itu, tidaklah sempurna keimanan seseorang kepada qadar (takdir)
kecuali dengan mengimani bahwa kehendak Allah Ta’ala meliputi segala sesuatu.
Tak ada yang terjadi atau tidak terjadi kecuali dengan kehendakNya. Tak mungkin
ada sesuatu yang terjadi di langit ataupun di bumi tanpa dengan kehendak Allah
Ta’ala.
Sementara itu Qurasih Shihab menafsirkan At-Takwir: 28-29 bahwa ayat
tersebut menggambarkan dua kehendak. Kehendak manusia dan kehendak Allah. Ayat
ini menetapkan bahwa manusia memiliki apa yang dinamai Al-Qur’an kasb/usaha,
tetapi usaha itu sama sekali tidak mengurangi kuasa dan kehendak Allah. Allah
menuntut dari manusia agar menghendaki apa yang dikehendaki-Nya buat mereka.
Jika kehendak itu diwujudkannya – maka Allah akan mengantarkanya patuh dan
taat, tetapi jika Yang Maha Mengetahui tidak menemukan dalam hati manusia
kehendak itu, maka Allah tidak memudahkan jalannya – sehingga ia tidak
memperoleh kemampuan untuk melakukan kebaikan.[15] Sayyid Qutub mengomentari
ayat di atas antara lain bahwa ayat ini menegaskan demikian, agar manusia tidak
memahami bahwa kehendak mereka terpisah dari kehendak Allah, yang kepada-Nya
kembali sesuatu. Penganugrahan kebebasan memilih, kemudahan memperoleh petunjuk,
semua itu kembali kepada kehendak-Nya, yang meliputi segala sesuatu yang lalu
dan kini serta datang.[16]
Al-Baqilany dalam kitabnya al-Inshaf mengatakan bahwa masyîatullah,
mahabbah-Nya, Ridha-Nya, Rahmah-Nya, Karahiyah-Nya, Ghadhab-Nya,
Sukhthu-Nya, Wilayah-Nya, semuanya kembali kepada Iradah-Nya. Dan Iradah
merupakan sifat bagi-Nya yang tidak dimiliki oleh makhluk.[17] Keseimpulannya bahwa وأن الأشياء تكون بمشيئة الله segala sesuatu itu terjadi (atau tidak
terjadi) tergantung terhadap masyiatullah.[18]
At-Takwir: 28-29
-At-Thabari mengatakan وما تشاءون أيها الناس الاستقامة على الحقّ،
إلا أن يشاء الله ذلك lalu ia
menyebutkan bahwa sebab turun ayat ini adalah ketika turun ayat 28, Abu Jahal
berkata istiqamah itu bagi kita, jika kita berkehendak, maka kita istiqamah,
maka turunlah ayat ke 29.[19]
sementara riwayat lain ditambah dengan perkataan Abu Jahal, jika kita tidak
mengkhendaki istiqamah maka kita tidak akan istiqamah.[20]
- Ibnu Katsir menafsirkan ayat 28
من أراد الهداية فعليه بهذا القرآن، فإنه
منجاةٌ له وهداية، ولا هداية فيما سواه barangsiapa yang menginginkan hidayah maka baginya
Al-Qur’an, karena ia adalah penyelamat dan hidayah, dan tidak ada hidayah
selainnya.[21]
Dan terhadap ayat ke 29
beliau menyatakan
ليست
المشيئة موكولة إليكم، فمن شاء اهتدى ومن شاء ضل، بل ذلك كله تابع لمشيئة الله عز
وجل رب العالمين
-
Sayyid Thanthawi menambahkan bahwa jumlah
pada ayat 28 mempunyai syiar bahwa orang yang menjawab terhadap hidayah
Al-Qur’an, maka ia mengkhendaki hidayah dan istiqamah bagi jiwanya, dan
maksudnya adalah sebagai pujian atas mereka dan penghormatan dengan urusan
mereka. Dan ayat 29 menjelasakan bahwa masyiatullah merupakan nafidzah
(jendela).[22]
-
Al-Qathan menafsirkan ayat 28 bahwa orang
yang terus menerus berada pada kesesatan maka tidak akan bermanfa’at dengan
dzikr/peringatan, juga mauidzah/nasehat tidak berpengaruh padanya. Dan semua
kembali kepada Allah Swt (29).[23]
D. Refleksi Nilai-nilai Paedagodis
Al-Masyîaĥ
1. Al-Masyîaĥ cikal bakal pendidikan
Seorang pelajar lulus dalam ujian, atau mahasiswa
menjadi sarjana (S1, S2, S3), atau seseorang menjadi guru besar, semuanya
diperoleh karena adanya suatu kegiatan baik yang bersifat pendidikan,
pengabdian ataupun penelitian yang kemudian dilaporkan dalam bentuk karya
tulis. Kegiatan-kegiatan tersebut muncul tidak secara kebetulan atau tiba-tiba,
tetapi semuanya telah disetting dengan baik atau terencana. Setingan atau
rencana tersebut merupakan niat yang bersumber dari sebuah kehendak atau Al-Masyîaĥ.
Masyîatullahnya menghendaki agar manusia
senantiasa membaca dengan menyebut nama Allah Swt (Q.S Al-‘Alaq, 96:1-5), karena
Ia-lah yang mengajarkan al-bayan bagi manusia (Q.S Ar-Rahman, 55:4).
Juga Allah Swt menunjukkan bahwa tidak sama antara orang yang berilmu dan orang
yang tidak berilmu, karena yang dapat mengambil pelajaran adalah orang berilmu
yaitu yang menggunakan akalnya (Q.S Az-Zumar, 39:9). Sehingga Allah meninggikan
orang yang beriman dan berilmu beberapa derajat (Q.S Al-Mujadilah, 58:11).
Jika Masyîatullahnya demikian, maka Masyîaĥ
hamba harus mengikutinya, mengapa?
Karena manusia diciptakan oleh Allah Swt, dan Allah memuliakan manusia dengan
berbagai anugerah (Q.S Al-Israa, 17:70), termasuk diantaranya adalah af’al
hurriyah (kebebasan berbuat). Dan manusia yang bijak serta baik adalah
mengetahui jati diri mesti kemana ia bergantung? Dan seterusnya.
Jadi jelas bahwa core paedagodis Al-Masyîaĥ
adalah membaca, yang merupakan kunci ilmu pengetahuan. Dengan demikian
seorang hamba yang telah menemukan Masyîatullahnya ia akan senantiasa
belajar dengan dilandasi keimanan sampai ajal menjemputnya.
2.
Substitusi Al-Masyîaĥ melalui warisan sosial (social
education)
Seseorang dalam menggapai suatu Al-Masyîaĥ tentu
tidak secara tiba-tiba muncul begitu saja, tetapi ia mempunyai proses baik yang
bersifat internal ataupun ekternal. Proses tersebut ada yang di dapat dari kasb,
ilham, juga ada yang di dapat dari warisan. Warisan yang dimaksud
bukanlah warisan materi, tetapi warisan sosial yang merupakan kontruksi dari
sebuah komunitas yang melahirkan suri teladan yang kemudian menghiasi
lingkungan dan menjadi budaya yang baik (akhlak al-karimah).
Al-Masyîaĥ yang berasal dari warisan
kontruksi sosial mempunyai kemungkinan (probability) untuk berubah, yaitu
apabila individu atau masyarakat tersebut berkeinginan untuk mengganti atau mengubah
Al-Masyîaĥ. Disadari atau tidak warisan sosial dengan pelbagai
problematikanya dapat mempengaruhi Al-Masyîaĥ seseorang baik yang
bersifat positif maupun yang bersifat negatif.
Begitu juga dengan Masyîaĥ individu dan
masyarakat terhadap pendidikan. Apabila pandangan mereka terhadap pendidikan
positif dan meyakini bahwa pendidikan merupakan salah satu dari beberapa faktor
kemajuan (taqaddum), maka muncul pada diri mereka suatu Masyîaĥ
agar senantiasa belajar (formal, non formal, informal) dan menyiapkan generasi
atau kader dalam berbagai macam disiplin ilmu. Tentu untuk merubah Masyîaĥ
tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan sebab dibutuhkan keyakinan,
potensi, kesadaran, nilai pendidikan, motivasi, usaha dan sebagainya yang mendukung
terhadap realisasi Masyîaĥ tersebut, sehingga tidak hanya sekedar
angan-angan atau bayangan tetapi harus nampak dalam realitas.
3. Tingkatan Al-Masyîaĥ
(general)
Masyîaĥ manusia secara global terbagi dua yaitu Masyîaĥ
yang berhubungan dengan kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani. Adapun Masyîaĥ
yang berhubungan dengan jasmani maka dapat dibagi sebagai berikut:
a.
Kebutuhan perut terhadap makan dan minum untuk
mempertahankan kesegaran dan kekuatan jasadnya.
b.
Kebutuhan kemaluan untuk memperoleh hasrat biologisnya.
c.
Kebutuhan mata untuk melihat yang indah-indah.
d.
Kebutuhan telinga untuk mendengar suara-suara yang merdu.
e.
Kebutuhan paru terhadap oksigen untuk bernafas yang
segar.
f.
Kebutuhan sel-sel terhadap vitamin, ion atau yang
semacamnya
g.
Kebutuhan badan terhadap pakaian untuk melindungi tubuh
dari udara dingin dan panas matahari. Dan sebagainya
Sedangkan Masyîaĥ yang berhubungan dengan
rohani lebih bersifat terhadap ketenangan jiwa. Dan yang dimaksud adalah fitrah
beragama, yaitu Masyîaĥ yang berorientasi terhadap ridha Allah guna
menatap wajah agung Dzat yang tidak memiliki sekutu.
حدثنا
محمد بن كثير أخبرنا سفيان قال حدثني يحيى بن سعيد عن محمد بن إبراهيم التيمي عن
علقمة بن وقاص الليثي قال سمعت عمر بن الخطاب يقول : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم "
إنما الأعمال بالنيات وإنما لامرىء ما نوى فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته
إلى الله ورسوله ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة يتزوجها فهجرته إلى ما هاجر
إليه . قال الشيخ الألباني : صحيح
Dari tingkatan tersebut manusia yang berakal harus dapat menempatkan Masyîaĥ
tersebut secara proporsional dan profesional dengan memisahkan Masyîaĥ
hayawaniah yang hanya menuruti perintah nafsu, makan dan kawin. Manusia
sejati adalah yang mampu menundukkan perintah tadi dengan kehendaknya demi
mendapat ridha Allah Swt.
4. Al-Masyîaĥ: Nilai dan Potensi
Dalam pendidikan nilai (value), sebuah Masyîaĥ dapat
dibagi menjadi dua bagian yaitu Masyîaĥ destruktif dan Masyîaĥ konstruktif.
Masyîaĥ Desktruktif yang dimaksud adalah suatu reaksi penolakan terhadap
keinginan yang dianggap oleh jasmani tidak baik/tidak enak, atau dianggap buruk
oleh akal berdasarkan potensi pengetahuan dan suri teladan yang dimilikinya.
Dengan demikian Masyîaĥ Konstruktif adalah sebaliknya, ia merupakan
reaksi penerimaan bahkan membangun keinginan tersebut dengan bergerak aktif yang dianggap enak oleh jasmani atau
dianggap baik oleh akal.
Berdasarkan dua nilai tersebut maka sebuah nilai Masyîaĥ
berhubungan dengan unsur-unsur Masyîaĥ yang dibangunnya, tentu dengan
berbagai keterbatasan hubungan manusia dengan Allah dan alam semesta. Oleh
karena itu manusia harus mengetahui Masyîatullah, yaitu dengan
memberdayakan semua potensi yang telah dianugerakan oleh Allah kepadanya, yang
dirajai atau dipimpin oleh qalbu yang memiliki fitrah din atau
beragama.
Selanjutnya potensi qalb akan memanage atau
mengatur potensi-potensi lain yang telah ditundukkan oleh Allah Swt. Jika
demikian maka posisi qalb menentukan pemilihan dan pemilahan terhadap nilai-nilai
Masyîaĥ yang akan direalisasikan dalam bentuk bisikan hati, perkataan dan
perbuatan atau aksi. Untuk menghasilkan aksi yang baik (menurut Allah), maka
kunci utama adalah menjinakkan hati dengan keimanan dan kesadaran dalam
berbisik (hati), berkata dan berbuat. Tuntutan kesadaran ini tidak mudah,
manusia memerlukan latihan, pembiasaan dan komitmen. Sebab kadang-kadang yang
sudah terbiasa juga yang asalnya disadari malah berubah menjadi tidak disadari,
sehingga menghilangkan centerisasi (kekhusyuan) dalam berbisik, bekata dan
berbuat (dzikir).
Jika qalb telah berfungsi dengan baik, maka
sebuah Masyîaĥ dapat dinilai dan diukur secara kualitatif dan
kuantitatif. Besar kecilnya nilai sebuah Masyîaĥ bergantung terhadap
besar-kecilnya pengorbanan yang diberikan, baik karta maupun jiwa. Jika
seseorang memiliki kesiapan untuk mengorbankan jiwa, harta dan raganya
semata-mata di jalan Allah, berarti dia telah mencapai level Masyîaĥ yang
tertinggi. Perhatikanlah firman Allah Swt Q.S. al-Hujurat:15
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا
وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ
الصَّادِقُونَ
Juga pada Q.S. at-Taubah:111
إِنَّ
اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ
لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ
وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَالْقُرْآَنِ
Sifat Berani, nerkorba dan dermawan merupakan fitrah Masyîaĥ, dan
yang dibutuhkan tentu bukan Masyîaĥ yang bersifat biasa, akan tetapi
yang mempunyai nilai luhur baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
5. Apabila manusia
kehilangan Al-Masyîaĥ
Sifat-sifat negatif yang ada pada manusia seperti
pengecut, kikir, sombong, dengki, hasad, sampai kafir atau musyrik
merupakan kehilangan identitas dari
sebuah Masyîaĥ (lost identity). Jika ini terjadi maka manusia
tidak menjadi manusia, tetapi ia turun menjadi hewan bahkan lebih rendah dari
pada hewan (derajatnya). Perhatikanlah firman Allah Q.S At-Taubah:24
قُلْ
إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ
وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا
وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ
فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا
يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
Dan Q.S Al-A’raf:179
وَلَقَدْ
ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا
يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آَذَانٌ لَا
يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ
الْغَافِلُونَ
6. Al-Masyîaĥ adalah ruh
Usaha membantu memanusiakan manusia merupakan
salah satu tujuan hidup yang dicetuskan oleh para filosof atau para pakar
pendidikan. Dilihat dari nilai dan substansinya maka Masyîaĥ dari pada
tujuan tersebut masih dianggap rendah. Sebab suatu Masyîaĥ dapat
dianggap tinggi apabila Masyîaĥ ‘ibadnya dapat sesuai dengan Masyîatullah
yang telah digariskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw.
Sebab Masyîatullah yang harus dijalankan
oleh manusia, maka manusia harus mengetahui sifat-sifat Allah Swt yang
merupakan cermin atau simbol dari Masyîaĥ-Nya yang bersifat universal.
Kemudian manusia berusaha menterjemahkan simbol dari sifat-sifat Allah Swt. Dan
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian maka Masyîatullah harus
menjadi cermin bagi Masyîatul ibad, sehingga ia akan mencapai level yang
tertinggi melebihi level malaikat. (wallahu ‘a’lam)
E. Penutup
Demikianlah kajiah Al-Masyîaĥ dalam makalah
ini, mudah-mudahan bermanfa’at. Kritik konstruktif diharapkan sebagai input
demi perbaikan dan kesempurnaan makalah ini.
Daftar Pustaka
Muhammad Aqil
bin Ali Al-Mahdaly, Al-Madkhal Ila Dirasat At-Tahliliyyah fil Qur’anil Karim:at-Tafsir
at-Tahlili, (Kairo: Dar Al-Hadits, 1996),
Muhammad bin
Makram bin Mandzur al-Ifriqy al-Misry, Lisanul ‘Arab, (Beirut: Dar
Shadir, T.th),
Mahmud Yunus,
Prof.Dr., Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1989),
Jaudat Sa’id, Al-‘amal
Qudrah wa Iradah, terj.Luqman Junaidi. Bertindak menurut kehendak Allah,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 2002),
Qurasih
Shihab, Tafsir Al-Misbah: pesan,
kesan dan keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002),
"http://www.syariahonline.com/new_images/konsultasi
Aqidah.
http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=423 Syaikh
Muhammad Shalih al`Utsaimin
Al-Baqilany, Al-Inshaf, , (Maktabah
asy-Syamilah),
I’tiqad Ahl
Sunnah, Itsbat al-Masyi’ah, , (Maktabah asy-Syamilah),
Muhammad bin
Jarir bin Yazid bin Khalid al-Thabari Abu Ja’far, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil
Ayyi al-Qur’an, (Beirut: Dar Fikr, 1405 H),
Ismail bin Umar
bin Katsir ad-Dimasyqi Abu al-Fida’, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim, (Beirut:
Dar Fikr, 1401 H),
Sayyid Thanthawi,
Al-Wasith, (Maktabah asy-Syamilah),
Al-Qathan, Tasir
Al-Qathan, (Maktabah asy-Syamilah),
[1] Muhammad Aqil bin Ali Al-Mahdaly, Al-Madkhal
Ila Dirasat At-Tahliliyyah fil Qur’anil Karim:at-Tafsir at-Tahlili, (Kairo:
Dar Al-Hadits, 1996), hlm.206.
[2] Muhammad bin Makram bin Mandzur al-Ifriqy
al-Misry, Lisanul ‘Arab, (Beirut: Dar Shadir, T.th), Cetakan pertama, hlm.104.
[3] Mahmud Yunus, Prof.Dr., Kamus Arab-Indonesia,
(Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1989), hlm.208
[4] Lisanul Arab, Ibid.
[5] Jaudat Sa’id, Al-‘amal Qudrah wa Iradah,
terj.Luqman Junaidi. Bertindak menurut kehendak Allah, (Bandung: Pustaka
Hidayah, 2002), hlm.87
[6] Qurasih Shihab,
Tafsir Al-Misbah: pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), hlm.97.
[7] Ibid.
[8] Jaudat Sa’id, OP., Cit., hlm.88 dengan prubahan.
[9] Jaudat Sa’id, OP., Cit., hlm.94-95 dengan
perubahan
[10] "http://www.syariahonline.com/new_images/konsultasi
Aqidah.
[11] Maksudnya adalah bahwa
seseorang harus meyakini bahwa Allah mengetahui segala sesuatu baik secara
global maupun teperinci. Dia mengetahui apa yang telah terjadi dan apa yang
akan terjadi. Karena segala sesuatu diketahui oleh Allah, baik yang detail
maupun jelas atas setiap gerak-gerik makhluknya. Dan pada sisi Allah-lah
kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri,
dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun
pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya , dan tidak jatuh sebutir biji-pun
dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan
tertulis dalam kitab yang nyata "(QS. Al-an`am 59)
[12] Bahwa Allah mencatat
semua itu dalam lauhil mahfuz, sebagaimana firman-Nya :
Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab . Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.(QS. Al-Hajj : 70)
Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab . Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.(QS. Al-Hajj : 70)
[13] Bahwa tidak sesuatu pun
di langit dan di bumi melainkan Allah sebagai penciptanya, pemiliknya,
pengaturnya dan menguasainya.Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab
dengan kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya.(QS.
Az-Zumar : 2)
[14] (Dinukil dari kitab
القضاء والقدر Qadla' dan Qadar Allah, oleh Syaikh Muhammad Shalih
al`Utsaimin). http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=423
[15] Quraish Shihab, Ibid.
[16] Ibid.
[17] Al-Baqilany, Al-Inshaf, Juz.1, bab
Bismillah, hlm.6)
[18] I’tiqad Ahl Sunnah, Itsbat al-Masyi’ah, Juz.1,
hlm.49
[19] Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid al-Thabari
Abu Ja’far, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayyi al-Qur’an, (Beirut: Dar Fikr,
1405 H), Bab.27, Juz.24, hlm.264. Sanadnya dari al-Thabari, dari Ibn Basyar,
Sofyan, dari Said bin Abd al-‘Aziz, dari Sulaiman bin Musa.
[20] Sanadnya dari al-Thabari, dari Ibn Al-Barqi, dari
‘Amr bin Abi Salamah, dar Sa’id, dari Sulaiman bin Musa.
[21] Ismail bin Umar bin Katsir ad-Dimasyqi Abu
al-Fida’, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim, (Beirut: Dar Fikr, 1401 H), Bab.15.,
Juz.8., hlm.340.
[22] Sayyid Thanthawi, Al-Wasith, (Maktabah
asy-Syamilah), Bab 15, Juz.1., hlm.4455
[23] Al-Qathan, Tasir Al-Qathan, (Maktabah
asy-Syamilah), Bab.15, Juz.3, hlm.412.