Pemerintahan dinasti Abbasiyah dinisbatkan kepada Al-
Abbas, paman Rasulullah, sementara Khalifah pertama dari pemerintahan ini
adalah Abdullah Ash- Sahffah bin Muhammad bin Ali Bin Abdulah bin Abbas bin
Abdul Muthalib. Dinasti Abbasiyah berkuasa selama lima abad dari tahun 132-656
H ( 750 M- 1258 M).
Sebelum berdirinya Dinasti Abbasiyah terdapat tiga
poros utama yang merupakan pusat kegiatan, anatara satu dengan yang lain
memiliki kedudukan tersendiri dalam memainkan peranya untuk menegakan kekuasaan
keluarga besar paman Rasulullah, Abbas bin Abdul Muthalib. Dari nama Al- Abbas
paman Rasulullah inilah nama ini di sandarkan pada tiga tempat pusat kegiatan,
yaitu Humaimah, Kufah,dan khurasan.
Di kota Mumaimah bermukim keluarga Abbasiyah, salah
seorang pimpinannya bernama Al-imam Muhammad bin Ali yang merupakan peletak
dasar-dasar bagi berdirinya dinasti Abbasiyah. Para penerang (pendakwah)
Abbasiyah berjumlah 150 orang di bawah para pimpinannya yang berjumlah 12 orang
dan puncak pimpinannya adalah Muhammad bin Ali.
Propaganda Abbasiyah dilaksanakan dengan dua
tahap, yakni Pertama dilaksanakan dengan sangat rahasia tanpa
melibatkan pasukan perang, mereka berdakwah atas nama Abbasiyah sambil
berdagang mengunjungi tempat-tempat yang jauh, dan dalam kesempatan menunaikan
Haji di Mekkah. Kedua, menggabungkan para pengikut Abu Muslim
al-Khurasan dengan pengikut Abbasiyah.
Propaganda-propaganda tersebut sukses membakar
semangat api kebencian umat Islam kepada Dinasti Bani Umayyah. Langkah pertama
memperoleh sukses besar melalui propaganda-propaganda yang dilakukan oleh Abu
Muslim al-Khurasan dengan cara menyatakan bahwa al-Abbas adalah ahli
al-Ba’it, sehingga lebih berhak menjadi Khalifah dan menyebarkan kebencian
dan kemarahan terhadap Dinasti Bani Umayyah, dan mengembangkan ide-ide
persamaan antara orang-orang Arab dengan non Arab karena objek propaganda Abu
Muslim tersebut adalah wilayah Khurasan yang notabene merupakan basis
kelompok Mawali.
Propaganda dengan cara menghasut dan
menyombongkan diri (membangga-bangkan kelompoknya sendiri) yang dilakukan oleh
Bani Abbas sangat bertentangan dengan politik Islam dalam al-Qur’an surat
al-Qashash ayat 83 dikatakan :
Artinya
: “Negeri akhirat itu, kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin
menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. dan kesudahan (yang
baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa”.
Setelah Muhammad Ibn Ali meninggal tahun 743 M,
perjuangan dilanjutkan oleh saudaranya Muhammad Ibn Ibrahim sampai tahun 749 M. Akan tetapi, imam
Ibrahim pemimpin Abbasiyah yang berkeinginan mendirikan kekuasaan Abbasiyah, gerakannya
diketahui oleh khalifah Ummayah terakhir, Marwan bin Muhammad. Ibrahim akhirnya
tertangkap oleh pasukan dinasti Umayyah. Ia menyerahkan pucuk pimpinan kepada
keponakannya Abdullah bin Muhammad alias Abul Al-Abbas untuk menggantikan
kedudukannya ketika tahu bahwa ia akan dibunuh, dan memerintahkan untuk pindah
ke kufah. Sedangkan pemimpin propaganda dibebankan kepada Abu Salamah. Segeralah
Abul Abbas pindah dari Humaimah ke kufah di iringi oleh para pembesar Abbasiyah
yang lain seperti Abu Ja’far,Isa bin Musa, dan Abdullah bin Ali.
Penguasa Umayyah di kufah, Yazid bin Umar bin
Hubairah, ditaklukan oleh Abbasiyah dan di usir ke Wasit. Abu Salamah
selanjutnya berkemah di kufah yang telah di taklukan pada tahun 132 H. Abdullah
bin Ali, salah seorang paman Abbul Abbas di perintahkan untuk mengejar
khaliffah Umayyah terakhir, marwan bin Muhammad bersama pasukannya yang
melarikan diri, dimana akhirnya dapat di pukul di dataran rendah sungai Zab.
Khalifah itu melarikan diri hingga ke fustat di mesir, dan akhirnya terbunuh di
Busir, wilayah Al- Fayyum, tahun 132 H/750 M. Dan berdirilah Dinasti Abbasiyah
yang di pimpin oleh khalifah pertamanya, yaitu Abul Al-Abbas Ash- Shaffah
dengan pusat kekuasaan awalnya di Kufah.
Usaha lain yang dilakukan oleh Al-Saffah untuk
memusnahkan keluarga Umayyah adalah dengan cara mengundang lebih kurang 90
orang naggota keluarga Umayyah untuk menghadiri suatu upacara perjamuan
kemudian membunuh mereka dengan cara yang kejam. Disamping itu agen-agen dan
mata-mata disebar keseluruh imperium untuk memburu pelarian seluruh anggota
keluarga Umayyah. Hanya satu orang saja yang berhasil melarikan diri dan kemudian
berhasil mendirikan Dinasti Umayyah di Andalusia. Ia dikenal dengan sebutan
Abdurahman Ad-Dakhil.
Dinasti Abbasiyah
mewarisi imperium dari Dinasti Umayyah. Hasil besar yang telah dicapai oleh
Dinasti Abbasiyah dimungkinkan karena landasannya telah dpersiapkan oleh
Umayyah dan Abbasiyah memanfaatkannya.1
Dinasti Abbasiyah berkedudukan di
Bagdad. Secara turun temurun kurang lebih tiga puluh tujuh khalifah pernah
berkuasa di negeri ini. Pada dinasti ini islam mencapai puncak kejayaannya dalm
segala bidang. Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti terpanjang, berkisar antara 132
H (750 M) s.d. 656 H(1258 M).
Dinasti Abbasiyah mencapai
keberhasilannya disebabkan dasar-dasarnya telah berakar sejak Ummayah berkuasa.
Ditinjau dari proses pembentukannya, Dinasti Abbasiyah didirikan atas
dasar-dasar antara lain:
1) Dasar
kesatuan unuk menghadapi perpecahan yang timbul dari dinasti sebelumnya;
2) Dasar
universal (bersifat universal), tidak terlandaskan atas kesukuan;
3) Dasar
politik dan adinistrasi menyeluruh, tidak diangkat atas dasar keningratan;
4) Dasar
kesamaan hubungan dalam hukum bagi setiap masyarakat islam;
5) Pemerintahan
bersifat muslim moderat, ras Arab hanyalah dipandang sebagai salah satu
bagian saja di antara ras-ras lain;2
6) Hak
memerintah sebagai ahli waris nabi masiih tetap ditangan mereka.
B. Pola Pemerintahan Dinasti
Abbasiyah
Penggantian Umayyah oleh Abbasiyah ini di dalam
kepimpinan masyarakat islam lebih dari sekedar penggantian dinasti, tetapi juga
merupakan revolusi dalam sejarah islam, seperti halnya revolusi prancis dan
revolusi Rusia didalam sejarah barat. Seluruh anggota keluarga Abbas dan
pimpinan umat islam mengatakan setia kepada Abbul Abbas Ash-shaffah sebagai
khalifah mereka. Ash- Shaffah kemudian pindah ke Ambar, sebelah barat sungai
Eufrat dekat Baghdad.
Kekhalifahan Ash-Shaffah hanya bertahan selama 4 tahun
9 bulan. Ia wafat pada tahun 136 H di Abar, Satu kota yang telah di jadikanya
sebagai tempat kedudukan pemerintahan. Ia berumur tidak lebih dari 33 tahun.
Bahkan ada yang mengatakan umur ash-Shaffah ketika meinggal dunia adalah 29
tahun.
Salah
satu sifat penguasa adalah bagaimana kekuasaan itu langgeng dan hanya berputar
disekitar garis keturunannya. Oleh karena itu kekuasaan itu harus dipertahankan
mati-matian, jika perlu dengan menghalalkan segala cara. Pola seperti ini juga
membuktikan bahwa Dinasti Abbasiyah menerapkan kembali sistem Monarki Absolut
yang dulu dipraktekkan oleh kerajaan Persia, Romawi.
Pada masa pemerintahan Bani Abbas, perebutan
kekuasaan sering terjadi, terutama di awal berdirinya. Akan tetapi, pada
masa-masa berikutnya, seperti terlihat pada periode kedua dan seterusnya,
meskipun khalifah tidak berdaya, tidak ada usaha untuk merebut jabatan khilafah
dari tangan Bani Abbas. Yang ada hanyalah usaha merebut kekuasaannya dengan
membiarkan jabatan khalifah tetap dipegang Bani Abbas. Hal ini terjadi karena
khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa
diganggu gugat lagi. Sedangkan kekuasaan dapat didirikan di pusat maupun di
daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil
yang merdeka.
Selama dinasti
Abbasiyah itu pula, pola pemerintahan yang di terapkan berbeda-beda, sesuai
perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasrkan perubahan pola pemerintahan
dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbbas
menjadi lima periode.
- Periode
I (132 H/750 M- 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama,
Khalifah yang memerintah adalah As-Saffah 132-126 H, Ja’far al-Mansur
136-158 H, al-Mahdi 158-169 H, al-Hadi 169-170 H, Harun ar-Rasyid 170-193
H, al-Amin 193-198 H, al-Ma’mun 198-218 H, al-Mu’tasim 218-227 H,
al-Watsiq 227-232 H.
- Periode
II (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama,
Khalifah yang memerintah adalah al-Mutawakkil 232-247 H, al-Muntashir
247-248 H, al-Musta’in 248-252 H, al-Mu’tazz 252-255 H, al-Muhtadi 255-256
H, al-Mu’tamid 256-279 H, al-Mu’tadhid 279 – 289 H, al-Muktafi 289-295 H,
al-Muqtadir 295-320 H, al-Qahir 220-222 H, ar-Radhi 322-329 H, al-Muttaqi
329-333 H, al-Mustakfi 333-334 H.
- Periode
III (334 H/945 M – 447 H/1055 M), disebut kekuasaan Dinasti Buwaih dalam
pemerintahan Khalifah Abbasiyah atau masa pemerintahan Persia kedua.
Khalifah yang memerintah adalah al-Muthi’ 334-363 H, ath-Tha’I 363 – 381
H, al-Qadir 381 – 422 H.
- Periode
IV (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), disebut masa kekuasaan Dinasti Saljuk
dalam pemerintahan Abbasiyah atau masa pengaruh Turki kedua. Khalifah yang
memerintah adalah al-Qa’in 422-467 H, al-Muqtadi 467-487 H, al-Mustazhhir 487-512
H, al-Mustasyid 512-529 H, ar-Rasyid 529-530 H, al-Muqtafi 530-555 H,
al-Munstanjid 555-566 H, al-Mustadhi’ 566-575 H.
- Periode V (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), disebut masa
khalifah bebas dari pengaruh Dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya
efektif di sekitar Baghdad sampai jatuhnya Baghdad ke tangan bangsa Tartar
di bawah pemimpin Hulaqu Khan tahun 656 H. khalifah yang memerintah adalah
an-Nashir 575-622 H, azh-Zahir 622-623 H, al-Mustanshir 623-640 H,
al-Mu’tashim 640-656 H.
Daulat
Abbasiyah berkuasa kurang lebih selama liam abad (750-1258). Pemerintahan yang
panjang tersebut dapat di bagi dalam dua periode. Periode I adalah masa antara
tahun 750-847 M, yaitu mulai pemerintahan Abu Al-Abbas sampai Al-Watsiq. Pada
masa ini kekuasaan dengan sistem
sentralistik. Pada periode kedua, kekuasaan bergeser dari sistem sentralistik
pada desentralisasi. Pola pemerintahannya
dijalankan dengan pola desentralisasi, yaitu pola pemerintahan di mana
pemerintahan pusat memberi kewenangan secara otonom bagi wilayah-wilayah di
daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Keuntungan dari pola seperti itu
adalah daerah menjadi lebih berkembang sehingga berdampak pada kemajuan. Kerugiannya,
banyak daerah-daerah yang merasa sudah kuat dan mandiri sedikit-demi sedikit
kemudian memberontak dan melepaskan diri dari pusat. Akibat dari pola
pemerintahannya yang desentralisasi, maka pada masa kekuasaan Abbasiyah terjadi
kemajuan di bidang peradaban dan ilmu pengetahuan serta terjadi kemunduran dan
disintegrasi di bidang politik yang menyebabkan runtuhnya kejayaan politik umat
islma pada saat itu.
Adapun ciri lain dari
pola pemerintahan Dinasti Abbasiyah adalah sebagai berikut:
·
Sistem pemerintahannya
adalah bergaya kedinastian (kerajaan/al-mulkiyah) yaitu pemerintahan yang
peimpinnya berasal dari satu keturunan keluarga.
·
Pemimpin tertinggi dari
pemerintahannya bergelar khalifah dan amirul mu’minin
·
Gelar khalifah adalah
gelar sebagai penguasa di bidang keagamaan
·
Gelar amirul mu’minin
adalah gelar sebagai penguasa pemerintahan
C. Ekspansi wilayah
Pada
masa Daulah Abbasiyah luas kekuasaan Islam semakin bertambah dan Baghdad sebagai
pusat pemerintahannya. Perluasan kekuasaan dan pengaruh Islam bergerak ke
wilayah Timur Asia Tengah dari perbatasan India hingga ke Cina.
Wilayah kekuasaan Islam amat luas yaitu meliputi wilayah yang telah dikuasai
oleh Bani Umayah antara lain Hijaz, Yaman Utara dan Selatan, Oman, Kuwait,
Irak, Iran, Yordania, Palestina, Libanon, Mesir, Tunisia, Aljazair, Maroko,
Spanyol, Afganistan, dan Pakistan. Daerah-daerah tersebut memang belum
sepenuhnya berada di wilayah Bani Umayah, namun di masa kekuasaan Bani Abbas
perluasan daerah dan penyiaran Islam semakin berkembang, sehingga meliputi
daerah Turki, Armenia, dan sekitar Laut Kaspia.
Dinasti
Bani Abbas pada periode pertama lebih menekankan pembinaan peradaban dan
kebudayaan islam dari pada perluasan wilayah. Inilah perbedaan pokok antara
Bani Ummayah dengan Bani Abbasiyah.
D. Peradaban Islam
1. Kemajuan
Kemajuan peradaban
Abbasiyah sebagai disebabkan oleh stabilitas politik dan kemajuan ekonomi
kerajaan yang pusat kekuasaannya terletak di Baghdad. Adapun kemajuan peradaban
Islam yang dibuat oleh Dinasti Abbasiyah adalah :
a.
Bidang Politik dan
Pemerintahan
Kemajuan politik dan
pemerintahan yang dilakukan oleh Dinasti Abbasiyah, yaitu:
- Memindahkan
pusat pemerintahan dari Damaskus ke Baghdad. Kemudian menjadikan Baghdad
sebagai pusat kegiatan politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Dijadikan
“kota pintu terbuka” sehingga segala macam bangsa yang menganut berbagai
keyakinan diizinkan bermukin di dalamnya. Dengan demikian jadilah Baghdad
sebagai kota international yang sangat sibuk dan ramai.
- Membentuk Wizarat untuk
membantu khalifah dalam menjalankan pemerintahan Negara. Yaitu Wizaratul
Tanfiz sebagai pembantuk khalifah dan bekerja atas nama khalifah
dan Wizaratul Rafwidl sebagai orang yang diberi kuasa
untuk memimpin pemerintah, sedangkan khalifah sendiri hanya sebagai lambang.
- Membentuk Diwanul
Kitaabah (Sekretaris Negara) yang tugasnya menjalankan tata usaha
Negara.
- Membentuk Nidhamul
Idary al-Markazy yaitu sentralisasi wilayah dengan cara wilayah
jajahan dibagi dalam beberapa propinsi yang dinamakan Imaarat, dengan
gubernurnya yang bergelar Amir atau Hakim.Kepala
daerah hanya diberikan hak otonomi terbatas; yang mendapat otonomi penuh
adalah “al-Qura” atau desa dengan kepala desa yang
bergelar Syaikh al-Qariyah. Hal ini jelas untuk mebatasi
kewenangan kepala daerah agar tidak menyusun pasukan untuk melawan
Baghdad.
- Membentuk Amirul
Umara yaitu panglima besar angkatan perang Islam untuk
menggantikan posisi khalifah dalam keadaan darurat.
- Memperluas
fungsi Baitul Maal, dengan cara membentuk tiga dewan; Diwanul
Khazaanah untuk mengurusi keuangan Negara, Diwanul
al-Azra’u untuk mengurusi kekayaan Negara dan Diwan
Khazaainus Sila,untuk mengurus perlengkapan angkatan perang.
- Menetapkan
tanda kebesaran seperti al-Burdah yaitu pakaian kebesaran
yang berasal dari Rasul, al-Khatim yaitu cincin stempel
dan al-Qadlib semacam pedang, dan kehormatan. Al-Khuthbah,
pembacaan doa bagi khalifah dalam khutbah Jum’at, as-Sikkah, pencantuman
nama khalifah atas mata uang dan Ath-Thiraz, lambing
khalifah yang harus dipakai oleh tentara dan pegawai pemerintah untuk
khalifah.
- Membentuk
organisasi kehakiman, Qiwan Qadlil Qudha (Mahkamah
Agung), dan al-Sutrah al-Qadlaiyah (jabatan
kejaksaan), Qudhah al-Aqaalim (hakim propinsi yang
mengetuai Pengadilan Tinggi), sertaQudlah al-Amsaar (hakim
kota yang mengetuai Pengadilan Negeri).
b.
Bidang Ekonomi
Pada masa awal pemerintahan Abbasiyah, pertumbuhan
ekonomi cukup stabil, devisa Negara penuh melimpah. Khalifah al-Mansur adalah
tokoh ekonom Abbasiyah yang telah mampu meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam
bidang ekonomi dan keuangan Negara (Baitul Maal).
Di sektor pertanian, pemerintah membangun sistem
irigasi dan kanal di sungai Eufrat dan Tigris yang mengalir sampai teluk
Persia, sehingga tidak ada lagi daerah pertanian yang tidak terjangkau irigasi.
Kemudian kota Baghdad di sampaing sebagai kota politik agama, dan kebudayaan,
juga merupakan kota perdagangan terbesar di dunia, sedangkan Damaskus merupakan
kota kedua. Sungai Tigris dan Eufrat menjadi kota transit perdagangan antar
wilayah-wilayah Timur seperti Persia, India, China, dan nusantara dan wilayah
Barat seperti Eropa dan Afrika Utara sebelum ditemukan jalan laut menuju Timur
melalui Tanjung Harapan di Afrika Selatan. Selain itu, barang-barang kebutuhan
pokok dan mewah dari wilayah Timur diperdagangkan dengan barang-barang hasil
dari wilayah bagian Barat. Di kerajaan ini juga, sudah terdapat berbagai macam
industri seperti kain Linen di Mesir, Sutra di Suriah dan Irak, Kertas di
Samarkand, serta hasil-hasil pertanian seperti Gandum dari Mesri dan Kurma dari
Irak.
c.
Lembaga dan Kegiatan
Ilmu Pengetahuan
Pada masa Dinasti
Abbasiyah pengembangan keilmuan dan teknologi diarahkan ke dalam Ma’had. Lambaga
ini dikenal ada dua tingkatan. Pertama, Maktab/Kuttab dan
masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal
dasar-dasar bacaan, menghitung, menulis, anak-anak remaja belajar dasar-dasar
ilmu agama serta tempat penngajian dari ulama-ulama yang merupakan
kelompok-kelompok (Khalaqah), tempat berdiskusi dan Munazarah dalam
berbagai ilmu pengetahuan dan juga dilengkapi dengan ruangan perpustakaan
dengan buku-buku dari berbagai macam disiplin ilmu. Disamping itu, di
masjid-masjid ini dilengkapi juga dnegan berbagai macam fasilitas pendidikan
penunjang lainnya. Kedua, bagi pelajar yang ingin mendalami
ilmunya, bisa pergi keluar daerah atau ke masjid-masjid atau bahkan ke rumah-rumah
gurunya. Karena semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, baik mengenai agama
maupun umum maka semakin banyak khalaqah-khalaqah (lingkaran
pengajaran), yang tidak mungkin tertampung di dalam ruang masjid. Maka
pada perkembangan selanjutnya mulai di buka madrasah-madrasah yang di pelopori
oleh Nizhamul Muluk. Lembaga inilah yang kemudian yang
berkembang pada masa Dinasti Abbasyiah. Madrasah ini dapat di temukan di
Baghdad, Balkar, Isfahan, Basrah, Musail dan kota lainya mulai dari tingkat
rendah, menengah, serta meliputi segala bidang ilmu pengetahuan.
c.1. Gerakan Penerjemah
Peleopor gerakan penerjemah pada awal
pemerintahan Dinasti Abbasyiah adalah khalifah al-Mansur yang juga membangun
kota Baghdad. Dia mempekerjakan orang-orang Persia yang baru masuk Islam
seperti Nuwbhat, Ibrahim al-Fazari dan Ali Ibnu Isa untuk menerjemahkan
karya-karya berbahasa Persia dalam bidang Astronomi yang sangat berguna bagi
kafilah dengan baik dari darat maupun laut. Buku tentang ketatanegaraan dan
politik serta moral seperti kalila wa Dimma Sindhind dalam
bahasa Persia diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Selain itu, Manuskrip
berbahasa Yunani seperti logika karya Aristoteles, Al-Magest karya
Ptolemy,Arithmetic karya Nicomachus dan Gerase, Geometri karya
Euclid. Manuskrip lain yang berbahasa Yunani Klasik, Yunani Bizantium dan
Bahasa Pahlavi (Persia Pertengahan), bahasa Neo-Persia dan bahasa Syiria juga
di terjemahkan.
Penerjemahan secara langsung dari bahasa Yunani
ke dalam bahasa Arab dipelopori oleh Hunayn Ibn Isyaq (w. 873 H) seorang
penganut Nasrani dari Syiria. Dia memeperkenalkan metode penerjemahan baru
yaitu menerjemahkan kalimat, bukan kata per kata. Metode ini lebih dapat
memahami isi naskah karena sturktur kalimat dalam bahasa Yunani berbeda dengan
sturktur kalimat dalam bahasa Arab.
Pada masa al-Ma’mun karena keinginan untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan demikian pesat, dia membentuk tim penerjemah
yang diketuai langsung oleh Hunayn Ibn Isyaq sendiri, dibantu Ishaq anaknya dan
Hubaish keponakannya serta ilmuwan lain seperti Qusta Ibn Luqa, Jocabite
seorang Kristen, Abu Bisr Matta Ibn Yunus seorang Kristen Nestorian, Ibn A’di,
Yahya Ibn Bitriq dan lain-lain. Tim ini bertugas menerjemahkan naskah-naskah
Yunani terutama yang berisi ilmu-ilmu yang sangat diperlukan seperti
kedokteran. Keberhasilan penerjemahan juga didukung oleh fleksibilitas bahasa
Arab dalam menyerab bahasa Asing dan kekayaan kosakata bahasa Arab.
c.2. Baitul Hikmah
Baitul Hikmah merupakan perpustakaan yang juga berfungsi
sebagai pengembangan ilmu pengetahuan. Istitusi ini adalah kelanjutan
dari Jandishapur Academy yang ada pada masa
Sasania Persia. Namun, berbeda dari istitusi pada masa Sasania yang hanya
menyimpan puisi-puisi dan cerita-cerita untuk raja, pada masa Abbasiyah
intitusi ini diperluas kegunaannya. Pada masa Harun ar-Rasyid intitusi ini
bernama Khizanah al-Hikmah (Khazanah Kebijaksanaan) yang berfungsi sebagai
perpustakaan dan pusat penelitian.
Sejak tahun 815 M, al-Ma’mun mengembangkan
lembaga ini dan diubah namanya menjadi Bait al-Hikmah. Pada masa ini
juga, Bait al-Hikmah dipergunakan secara lebih modern yaitu
sebagai tempat penyimpanan buku-buku kuno yang di dapat dari Persia, Byzantium,
bahkan Ethiopia dan India. Selain itu Bait al-Hikmah berfungsi
sebagai kegiatan studi dan riset astronomi untuk meneliti perbintangan dan
matematika. Di institusi ini al-Ma’mun mempekerjakan Muhammad Ibn Hawarizmi
yang ahli bidang al-Jabar dan Astronomi dan orang-orang Persia bahkan Direktur
perpusatakaan adalah seorang nasionalis Persia dan ahli Pahlewi Sahl Ibn Harun.
d.
Bidang Keagamaan
Pada masa Abbasiyah, ilmu dan metode tafsir
mulai berkembang, terutama dua metode penafsiran, yaitu Tafsir bil
al-Ma’tsur dan Tafsir bi al-Ra’yi. Tokoh tafsir terkenal
seperti Ibn Jarir at-Tabary, Ibn Athiyah, Abu Bakar Asam (Mu’tazilah), Abu
Muslim Muhammad Ibn Bahr Isfahany (Mu’tazilah), dll.
Dalam bidang Hadits, mulai dikenal ilmu
pengklasifikasian Hadits secara sistematis dan kronologis seperti, Shahih,
Dhaif, dan Madhu’. Bahkan juga sudah diketemukan
kritik Sanad, dan Matan, sehingga
terlihat Jarrahdan Takdil Rawi yang meriwayatkan
Hadits tersebut. Ahli Hadits terkenal di zaman ini adalah; Imam Bukhari (w 256
H), Imam Muslim (w 261 H), Ibn Majah (w 273 H), Abu Daud (w 275 H),
at-Tirmidzi, An-Nasa’I (303 H), dll.
Dalam bidang Fiqh, mucul kitab Majmu’
al-Fiqh karya Zaid Ibn Ali (w 740) yang berisi tentang Fiqh Syi’ah
Zaidiyah. Kemudian lahir Fuqaha seperti Imam Hanafi (w 767 ), seorang hakim
agung dan pendiri Madzhab Hanafi, Malik Ibn Anas (w 795 M), Muhammad Ibn Idris
as-Syafe’i (820 M), Imam Ahmad Ibn Hambal ( w 855 M).
Dalam bidang filsafat dan Ilmu kalam, lahir para
filosof Islam terkemuka seperti Ya’qub Ibn Ishaq al-Kindi, Abu Nasr Muhammad
al-Farabi, Ibn Barjah, Ibn Tufail, dan Imam Ghazali. Dan ilmu Kalam, Mu’tazilah
pernah menjadi Madzhab utama pada masa Harun ar-Radyid dan al-Ma’mun. diantara
ahli ilmu Kalam adalah Washil Ibn Atha’, Abu Huzail al-Allaf, Adh Dhaam, Abu
Hasan Asy’ary, dan Iman Ghazali.
Ilmu Lughah juga berkembang
dengan pesat karena bahasa Arab semakin dewasa dan memerlukan suatu ilmu bahsa
yang menyeluruh. Ilmu bahasa yang dimaksud adalah Nahwu, Sharaf,
Ma’ani, Bayan, Badi, Arudh, dan Insya. Ulama Lughah yang
terkenal adalah Sibawaih (w 183 H), Mu’az al-Harra (w 187 H), Ali Ibn Hamzah
al-Kisai (w 208 H), dll.
Ilmu Tasawuf berkembang pesat terutama pada masa
Abbasiyah II dan seterusnya. Diantara tokoh tasawuf yang terkenal adalah
al-Qusayiri (w 456 H), Syahabuddin (w. 632 H), Imam al-Ghazali (w. 502 H), dan
lain-lain.
e.
Kemajuan Ilmu
Pengetahuan, Sains dan Teknologi
Dinasti Abbasiyah
merupakan salah satu dinasti Islam yang sangat peduli dalam upaya pengembangan
ilmu pengetahuan. Upaya ini mendapat tanggapan yang sangat baik dari para
ilmuwan. Sebab pemerintahan dinasti abbasiyah telah menyiapkan segalanya untuk
kepentingan tersebut. Diantara fasilitas yang diberikan adalah pembangunan
pusat-pusat riset dan terjemah seperti baitul hikmah, majelis munadzarah dan
pusat-pusat study lainnya.
Bidang-bidang ilmu pengetahuan umum yang berkembang antara lain:
Bidang-bidang ilmu pengetahuan umum yang berkembang antara lain:
e.1. Filsafat
Proses penerjemahan
yang dilakukan umat Islam pada masa dinasti bani abbasiyah mengalami kemajuan
cukup besar. Para penerjemah tidak hanya menerjemahkan ilmu pengetahuan dan
peradaban bangsa-bangsa Yunani, Romawi, Persia, Syiuria tetapi juga mencoba
mentransfernya ke dalam bentuk pemikiran. Diantara tokoh yang member andil
dalam perkembangan ilmu dan filsafat Islam adalah: Al-Kindi, Abu Nasr
al-Faraby, Ibnu Sina, Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail, al-Ghazali dan IbnuRusyd.
e.2. Ilmu kalam
Menurut A. Hasimy
lahirnya ilmu kalam karena dua factor: pertama, untuk membela Islam dengan
bersenjatakan filsafat. Kedua, karena semua masalah termasuk masalah agama
telah berkisar dari pola rasa kepada pola akal dan ilmu. Diantara tokoh ilmu
kalam yaitu: wasil bin Atha’, Baqilani, Asy’ary, Ghazali, Sajastani dan
lain-lain.
e.3. Ilmu kedokteran
Ilmu kedokteran merupakan salah satu ilmu yang mengalami
perkembangan yang sangat pesat pada masa Bani Abbasiyah pada masa itu telan
didirikan apotek pertama di dunia, dan juga telah didirikan sekolah farmasi.
Tokoh-tokoh Islam yang terkenal dalam dunia kedokteran antara lain Al-Razi dan
Ibnu Sina.
e.4. Ilmu kimia
Ilmu kimia juga termasuk salah satu ilmu pengetahuan yang
dikembangkan oleh kaum muslimin. Dalam bidang ini mereka memperkenalkan eksperimen
obyektif. Hal ini merupakan suatu perbaikan yang tegas dari cara spekulasi yang
ragu-ragu dari Yunani. Mereka melakukan pemeriksaan dari gejala-gejala dan
mengumpulkan kenyataan-kenyataan untuk membuat hipotesa dan untuk mencari
kesimpulan-kesimpulan yang benar-benar berdasarkan ilmu pengetahuan diantara
tokoh kimia yaitu: Jabir bin Hayyan.
e.5. Ilmu hisab
Diantara
ilmu yang dikembangkan pada masa pemerintahan abbasiyah adalah ilmu hisab atau
matematika. Ilmu ini berkembang karena kebutuhand asar pemerintahan untuk
menentukan waktu yang tepat. Dalam setiap pembangunan semua sudut harus
dihitung denga tepat, supaya tidak terdapat kesalahan dalam pembangunan
gedung-gedung dan sebagainya. Tokohnya adalah Muhammad bin Musa al-Khawarizmi.
e.6. Sejarah
Pada masa ini sejarah masih terfokus pada tokoh atau peristiwa
tertentu, misalnya sejarah hidup nabi Muhammad. Ilmuwan dalam bidang ini adalah
Muhammad bin Sa’ad, Muhammad bin Ishaq.
e.7. Ilmu Bumi
Ahli
ilmu bumi pertama adalah Hisyam al-Kalbi, yang terkenal pada abad ke-9 M,
khususnya dalam studynya mengenai bidang kawasan arab.
e.8. Astronomi
Tokoh
astronomi Islam pertama adalah Muhammad al-fazani dan dikenal sebagai pembuat
astrolob atau alat yang pergunakan untuk mempelajari ilmu perbintangan pertama
di kalangan muslim. Selain al-Fazani banyak ahli astronomi yang bermunculan
diantaranya adalah muhammad bin Musa al-Khawarizmi al-Farghani al-Bathiani,
al-biruni, Abdurrahman al-Sufi.
2.
Kemunduran Dinasti Abbasiyah
Ada dua faktor yang menyebabkan runtuhnya Dinasti Abbasiyah, yaitu
faktor Internal (dari dalam sendiri), dan faktor Eksternal (dari
luar). Faktor internal diantaranya. Pertama, perebutan
kekuasaan antar keluarga merupakan pemicu awal yang akhirnya berimplikasi
panjang terhadap kehidupan khalifah selanjutnya, terutama suksesi setelah Harun
ar-Rasyid. Perebutan antara al-Amien dan al-Ma’mun yang memicu perang sipil
besar yang pada akhirnya melemahkan kekuatan militer Abbasiyah dan control
terhadap provinsi-provinsi di bawah kekuasaan Abbasiyah. Selanjutnya dari
perebutan tersebut melahirkan orang-orang yang tidak kompeten, ditambah lagi
terjadi pemisahan antrara agama dan politik. Akibatnya terjadi penyalahgunaan
kekuasaan dengan cara hidup dalam kemewahan dan pesta pora di Istana karena
agama tidak lagi menjadi pengawas. Seperti al-Mutawakkil memiliki 4000 orang
selir semuanya pernah tidur seranjang dengan dia. Khalifah al-Mutazz (Khalifah
ke-13) menggunakan pelana emas dan baju berhiaskan emas.
Kemudian menurut Abu A’la al-Maududi ketika konsep khalifah
digantikan dengan sistem kerajaan maka tiada ada lagi keahlian kepemimpinan
yang mencakup segalanya baik dalam politik maupun agama. Sehingga keberhasilan
raja-raja tidak mendapatkan penghargaan dan kewibawaan moral di hati rakyat,
walaupun mereka mampu menaklukan rakyat dengan kekuasaan dan kekuatan, dan
mengeksploitasi mereka demi tujuan politisnya. Disinilah secara filosofis
kelemahan mendasar dari sistem kerajaan. Selain itu secara Sosiologis system
Kerajaan akan menciptakan paradigma berfikir peodalistik anti kritik, sehingga
mudah sekali terjadi penyimpangan-penyimpangan di dalamnya. Kedua, perpecahan
di bidang akidah dan di bidang madzhab, yang masing-masing kelompok saling
mengklaim paling benar, sehingga memunculkan sikap fanatisme berlebihan. Bahkan
khalifah al-Ma’mun melancarakan gerakan pembasmian kepada orang-orang yang
tidak mau tunduk kepada madzhab Mu’tazilah. Hal tersebut kemudian diikuti
kembali oleh al-Mutawakkil yang membasmi terhadap golongan Mu’tazilah karena tidak
mau tunduk kepada Ahlu Hadits. Terakhir, penguasaan Baitul Maal yang
berlebihan akibatnya muncul justifikasi bahwa Baitul Maal adalah
milik penguasa, bukan milik umat. Sehingga tidak seorang pun berhak meminta
pertanggungjawaban mengenai dari mana uang itu berasal dan lari kemana uang itu
kemudian. Hal ini memancing reaksi negative dari masyarakat, dan memunculkan
rasa ketidakpuasan yang berujung kepada pemberontakan.
Masalah ini sebenarnya
sudah diperingatkan oleh Rasulullah Saw lewat sabdanya :
“Semakin dekat seseorang
pada kursi kekuasaan, semakin jauhlah dia dari Tuhan; semakin banyak jumlah
pengikut yang dimilikinya semakin jahatlah ia, semakin banyak kekayaan yang
dipunyainya, semakin ketat pulalah perhitungannya.
Namun sangat disayangkan
para penguasa Dinasti Abbasiyah semuanya terbuai dan lupa bahkan kepada Allah
sendiri, hingga keruntuhan mereka.
Kemudian faktor
eksternal yang menyebabkan runtuhnya Dinasti Abbasiyah adalah; Pertama, pemberontakan
terus menerus yang dilakukan oleh kelompok Khawarij, Syi’ah, Murjiah,
Ahlusunnah, dan bekas pendukung Dinasti Umayyah yang berpusat di Syiria
menyebabkan penguasa Abbasiyah harus selalu membeli perwira pasukan dari Turki
dan Persia. Konsekuensinya meningkat terus ketergantungan pada tentara bayaran
dan ini pada gilirannya menguras kas Negara secara financial. Kedua, memberikan
kebaikan berlebihan kepada orang-orang Persia, dan Turki, berakibat mereka
dapat menciptakan kerajaan sendiri seperti Thahiriyah di Khurasan, Shatariyah
di Fars, Samaniyah di Ttansxania, Sajiyyah di Azerbaijan, Buwaihah di Baghdad
semuanya dari bangsa Persia. Sedangkan kerajaan yang didirikan oleh orang-orang
Turki adalah Thuluniyah di Mesir, Ikhsyidiyah di Turkistan, Ghaznawiyah di
Afghanistan dan dilanjutkan muculnya Dinasti-Dinasti merdeka Umayyah di
Andalusia, Fathimiyah di Afrika Utara, Idrisiyah di Maroko, Rustamiyah,
Aghlabiyah, Ziriyyah, Hammadiyah di Jazirah dan Syiria, al-Murabitun,
al-Muwahidun di Afrika Utara,Marwaniyah di Diyarbakar, dll. Ketiga, serangan
bangsa Mongol yang dipimpin oleh Hulaqu Khan. Baghdad di bumi hanguskan dan
diratakan dengan tanah. Khalifah al-Musta’sim dan keluarganya di bunuh,
buku-buku yang terkumpul di Baitul Hikmah di bakar dan dibuang
ke sungai Tigris sehingga berubahlah warna air sungai tersebut menjadi hitam
kelam karena lunturan tinta dari buku-buku itu.